I hate morning flight, if its not for holiday.
Harus bangun jam 3 pagi setelah kemarin seharian di Samosir adalah sesuatu hal yang rasanya seperti mimpi buruk, bahkan dari sebelum terlelap mimpi itu sudah datang. Tetapi untungnya kami menginap di Dprima Hotel Medan yang terletak persis di atas stasiun kota Medan, yang sudah memiliki kereta langsung ke bandara Kualanamu. Jarak 36 km dari kota Medan ke Bandara ditempuh 30 menit saja dengan kereta ini. Dengan perjalanan pertama pukul 4 pagi, kami jadi tidak perlu tergesa mengejar penerbangan pukul 6 kami. Hal lain yang membuat saya bersemangat adalah tentang rencana bermain paralayang dari Puncak Lawang yang berada di atas Danau Maninjau.
Alhamdulillah perjalanan dengan si Singa tidak delay, jadi kira-kira setengah 8 pagi saya sudah mendarat di BIM. Perjalanan dari Medan ke Padang ini memang mencoreng rencana awal untuk menggunakan jalan darat dari Aceh sampai Palembang. Tapi berhubung cuti terbatas, dan perjalanan darat dari Medan ke Padang via Pekanbaru bisa 1 hari lebih, jadi diputuskan untuk naik pesawat saja. Beberapa saat menginjakan kaki (lagi) di BIM, saya hubungi teman lama untuk bertemu dan mengambil mobil sewaan yang sudah saya pesan beberapa bulan sebelumnya. Awalnya saya pikir dia yang akan jadi supir plus pemandu saya selama dua hari di Padang, tapi ternyata diwakilkan oleh seorang teman lain yang belum saya kenal, tapi dia kenal saya. Ternyata saya terkenal juga di Padang, ya. Hahaha.
Mengingat tujuan pertama kami adalah menuju Danau Maninjau, jadi harus melupakan sarapan Bubur Kampiun di kota Padang. Sebagai gantinya kami mengincar untuk sarapan Sate Padang Mak Syukur yang termasyhur itu, tapi ternyata masih tutup. Lalu teman saya ini mengajak makan Pical di Bukittinggi, ternyata tidak berjualan pada hari itu. Itinerary mulai tidak berjalan mulus disini, entah mengapa. Akhirnya, Gulai Itiak Lado Mudo di Ngarai Sianok yang seharusnya jadi menu makan siang kami, harus disantap kira-kira pukul 10 pagi. Untung udah pengalaman makan pedes, jadi aman-aman saja. Setelah kenyang, kami pun menuju Pasar Ateh Bukittinggi untuk sekedar santai-santai menikmati Jam Gadang, dan menikmati Es Tebak dan Ampiang Dadiah untuk menyejukan suasana Bukittinggi yang cukup terik siang itu.


Lepas tengah hari akhirnya kami tiba di Puncak Lawang, tempat untuk melakukan olahraga Paralayang. Tapi lagi-lagi kesialan kami bertambah di kota ini karena ternyata mereka tidak ada jadwal untuk terbang hari itu. Sungguh ini jadi puncak kesemrawutan itinerary di kota ini. Untungnya pemandangan Danau Maninjau dari sini sungguhlah indah, suasananya juga sangat sejuk, bahkan sempat turun kabut sesaat. Tidak berlama-lama disana akhirnya kami putuskan untuk langsung menuju Lembah Echo Homestay di Harau untuk istirahat.

Istirahat yang kami cari benar-benar kami temukan di Harau, terutama di Lembah Echo Homestay. Penginapan yang terletak di Lembah Harau kota Payakumbuh ini berada di antara dua tebing besar yang memang sangat menenangkan, teman perjalanan saya saja bahkan tertidur sampai waktu Maghrib tiba. Sedangkan saya diajak oleh pengurus homestay untuk jalan-jalan sore disekitar Harau. Melihat beberapa air terjun, mencoba mendengarkan gema suara saya dengan berteriak di titik echo Lembah harau, dan menikmati Kopi Kawa Daun yang terkenal itu. Ya, Harau berhasil mengobati kekecewaan saya hari ini. Dan tempat ini memang luar biasa, melebihi ekspektasi saya.
Malam hari kami habiskan untuk jalan-jalan di kota Payakumbuh, menikmati Sate Danguang-Danguang khas Payakumbuh di salah satu tenda makan pingir jalan yang memiliki Tugu Adipura dengan sepeda besar ditengahnya. Sate ini mirip dengan Sate Padang khas Pariaman atau Padang Panjang, hanya saja dagingnya sudah dibumbui dengan parutan kelapa sehingga terasa lebih gurih, menurut saya.
Di Harau, saya enak tidur, enak makan. Kamu mau?

