“Selamat pagi Sabang”
Kira-kira begitu kata-kata yang akan saya kirimkan dari gawai saya ketika esok pagi membuka mata di Sabang. Tentu lengkap dengan foto lanskap indah yang tersaji langsung di depan kamar Iboih Inn.
Tetapi, sejenak kemudian saya terhenyak ketika mendapati teman perjalanan saya yang masih tertidur, dan dalam keadaan tanpa busana atas.
“Aduh, saya benar sedang di Aceh kan, bukan Bangkok?”
Sejurus kemudian, saya coba memeriksa celana saya. Saya takut sudah tanggal dari tempatnya.
Ini kejadian kedua kali (pertama kali saat kuliah di Bandung) saya terbangun dari tidur bersama lelaki muda, tetapi mereka sudah tak berbusana atas. Dan setelah saya interograsi keduanya mengaku hanya kepanasaan malam tadi. Alhamdulillah. Dahulu mungkin tidak terlalu masalah karena saya masih bujang, tapi kali ini apa yang harus saya katakan ke anak & istri saya. Saya kan bukan Reza Pahlevi, dan dia juga bukan Indra Bekti.
Hari ketiga TourDeSumatra kali ini kami ingin sedikit menjelajahi kota Sabang, jadi setelah sarapan pagi di Iboih Inn, kami hanya bersantai sembari mengobrol kesana-kemari dengan Kak Liza. Dia bercerita kalau Iboih Inn sekarang menjalin kerjasama dengan Garuda Indonesia, jadi dia diminta untuk bantu promosikan rute baru Garuda Indonesia dari Medan (KNO) – Sabang (SBG) pergi-pulang kepada para tamunya. Perjalanan akan ditempuh selama 1 jam 30 menit, menggunakan pesawat ATR-72.
Kira-kira pukul 11 siang akhirnya kami pamit sama Kak Liza, dan kali ini di antar ke dermaga Iboih menggunakan kapal milik Iboih Inn. Ternyat Pak Zul sudah menunggu kami di dermaga, tak menunggu lama kami pun lanjut menuju Tugu Nol Kilometer yang ternyata sedang di renovasi, dan kami pun disambut hujan yang cukup deras sehingga hanya bisa memandangi dari dalam mobil saja. Setelah ditunggu sekian waktu, hujan pun tak kurun berhenti jadi kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke pantai Anoi Itam, mampir ke toko souvenir Piyoh, dan mencicipi Rujak Aceh yang sueegggerrr.
Setelah puas memberikan hiburan untuk mata juga perut, dan berbelanja di Piyoh, kami pun di antar ke pelabuhan Balohan untuk kembali ke Aceh, karena perjalanan akan berlanjut ke kota ketiga (Medan) malam harinya. Saat di kapal, ada kejadian yang bikin saya sedih campur jengkel. Jadi ada sepasang wisatawan asing dengan barang bawaan lumayan, dan mereka letakan di kursi yang seharusnya bisa digunakan untuk penumpang lain. Begitu ditegur (agak keras & kasar) oleh petugas untuk memangku tasnya yang saya tahu akan sulit karena tempatnya juga sempit, ehh si ceweknya malah menangis. Saya jengkel dengan kelakuan turis tersebut, tapi juga sedih dengan pelayanan petugas tadi. Sebenarnya ada tempat khusus untuk meletakan tas di bagian paling belakang tempat duduk, but you know how it feels left your belonging unattended in this country. Jangankan tas yang kelihatan, hati yang kasat mata aja kalau gak dijaga bisa diambil orang. #eeeaaa
“Bang, kita beli tiket bus ke Medan, lalu makan Ayam Tangkap, shalat Maghrib di Masjid Baiturrahman, dan ngopi-ngopi dulu ya sebelum ke terminal.” Ujar saya ke Bang Fendi begitu tiba di pelabuhan Ulee-Lheueu.
“Tapi gimana kalau kita mandi dulu, Wa” kata teman saya.
“DHEG…kita mandi dulu? Jadi semalam benar ada apa-apa nih di antara kita?” Sayup-sayup terdengar suara latar sinetron Indosiar.
“Hayuk kalau mau mandi, ada masjid dekat sini, sekalian kita shalat Ashar.” Sahut Bang Fendi.
“Mandi di masjid? Iyaaa bisa, biasa kok banyak juga yang sering mandi di masjid itu.” kata Bang Fendi menambahkan.
Urusan mandi dan ibadah beres, lanjut ke rumah makan Ayam Tangkap Atjeh Rayeuk karena perut sudah mulai keroncongan. Ayam tangkap ini adalah makanan khas Aceh berupa ayam yang digoreng dengan bumbu dan rempah-rempah juga dedaunan. Daun-daunan ini jadinya lebih mirip kerupuk ketika dimakan, wajib dicoba kalau main ke Aceh. Untuk kalian yang di Jakarta kalau mau coba bisa datang ke cabang mereka di daerah Senopati, Jakarta Selatan.
Perut sudah kenyang, kami diajak mampir sebentar ke tempat kapal yang terdampar di atas rumah (Lampulo Boat) saat bencana Tsunami. Saya membayangkan besarnya bencana itu saja sudah merinding, kapal besar yang sedang sandar di laut bisa terbawa sampai ke perkampungan dan menyadari dirinya sudah terdampar di atap rumah.
Alun-alun Masjid Baiturrahman menjadi tempat singgah kami berikutnya sembari menunggu waktu Maghrib tiba. Alun-alun disini selalu ramai dengan pengunjung dan pedagang menjelang maghrib, dan saat suara adhan berkumandang disini terdengar syahdu sekali, saya sampai langsung mengirimkan pesan ke Papa mertua agar disempatkan suatu hari nanti mengunjungi Aceh dan shalat maghrib disini. Alhamdulillah, another wishlist checked!
Waktu keberangkatan bus yang masih jam 9 malam, dan ngopi di Aceh adalah sesuatu yang wajib. Maka kami minta Bang Fendi untuk mengantar kami ke kedai kopi Solong Coffee Premium di daerah Ulee Kareng untuk mencicipi kopi Sangernya yang terkenal beserta beberapa kue basah yang pas sebagai temannya. Karena memang beneran enak, kami pun membeli kopi bubuknya untuk dibawa pulang.
Perjalanan tiga hari kami di provinsi Aceh dan Pulau Weh pun berakhir di terminal bus Batoh untuk melanjutkan perjalanan menuju Medan dengan bus malam Putra Pelangi yang girly banget interiornya. Perjalanan bus malam Banda Aceh-Medan memang sudah terkenal dengan busnya yang nyaman, dan bagus, jadi perjalanan selama 10 jam pun terasa menyenangkan dan bisa tidur pulas. Semoga dia tidak membuka bajunya lagi besok pagi.