Waktu adalah pemburu paling lapar. Ia tak pernah berhenti melahap masa muda, tua, lapar, kaya, miskin, bahkan hal tak kasat mata semacam rindu.
Hal itu terpancar dari rona wajah para penumpang kereta api di sekelilingku saat ini. Sekumpulan muda-mudi ingin membunuh waktu mereka, entah dengan berlibur atau kembali ke kota tujuan untuk menuntut ilmu. Ada sepasang kekasih yg berpelukan demi melawan hawa dingin di dalam kereta, atau seorang pejalan yg mungkin juga ingin membunuh dingin dinding hatinya, entah. Tapi yg sungguh menggetarkan adalah seorang ibu & anaknya yg duduk di depan saya, mereka kembali ke kampung nya setelah sekian lama membunuh waktu di ibukota demi mengais rizki Tuhan, mereka luar biasa.
Hal utama yg saya senangi saat menumpang moda transportasi massal adalah dapat merasakan sentuhan semacam ini. Sentuhan yg diperlukan agar kita senantiasa bersyukur atas apa yg sudah kita punya. Semua, apapun latar belakanganya, bagaimanapun cara mereka bergelut membunuh waktu, kami semua ada dalam satu tujuan yg sama, Pulang.
Maafkan aku, Ayah. Lama sudah aku tak menabur bunga di pusara mu, berkeluh kesah dengan mu yg kuharap berbahagia di sisi-Nya. Tak terasa sudah 3 tahun lebih kau meninggalkan kami. Aku tau suatu saat nanti kita akan bertemu lagi, tapi membunuh waktu menunggu saat itu tiba adalah berat bagiku yg belum sempat membahagiakan mu.
Kepingan-kepingan ingatan saat bersama mu berjatuhan tanpa diminta. Saat kau lemparkan ku ke tepian Pantai Baron agar aku berani pada laut, saat aku merengek di tengah kemacetan Cisarua hanya karna ingin berenang, saat kau hanya mampu marah dalam diam saat aku tak sengaja kehilangan sepeda ku, perjuangan mu mengantarkan ku sekian tahun sekolah sepak bola, saat kau menjaga ku pulang dari sekolah setelah insiden keributan dalam suatu pertandingan sepak bola, saat kau hantarkan sepeda motor di rumah untuk kendaraan ku saat kuliah di Bandung, dan yg paling haru adalah saat kau ucapkan selamat beberapa saat setelah aku kabari kelulusan kuliah ku. Tak banyak kata memang, tapi aku memang cengeng saat itu, kata2 singkat mu ampuh meruntuhkan bendungan air mata bahagia ku. Hingga tiba di kepingan terakhir saat mengantar mu ke peraduan terakhir mu, mencium kening mu untuk terakhir kalinya. Tak hanya di pusara mu aku menangis, bahkan saat ku tuliskan ini di atas kereta, di antara puluhan orang yg tak ku kenal pun, aku tak kuasa menahan air mata ku. Ya, anak mu merindukan mu.
Oiya, cucu pertama mu hari ini genap berusia 7 bulan. Dia cantik sekali, mewarisi sebagian besar genetik ku, yg pastinya juga milik mu. Aku sudah tak sabar menunggunya tumbuh besar, untuk mengajaknya berpetualang, mengenalkannya pada kearifan lokal, berbagi cerita tentang mu, dan akan kuwariskan segala hal baik yg sudah kau wariskan padaku.
Beberapa hal yg tak berjalan baik akan kupikul, akan aku lawan semampuku. Berdiam seperti yg kau perlihatkan, tak akan ku lakukan. Semoga tugas terakhir ku memberikan pendidikan yg layak untuk bungsu mu selesai tahun ini. Akan kami buat kau bangga atas semua perjuangan yg telah kau berikan semasa hidup mu.
Maafkan kalau ego ku untuk merenovasi rumah mu akhirnya ku lakukan juga. Ide ku yg kau tolak dulu baru aku bisa pahami alasannya sekarang saat kantong ku menipis, hehehe. Aku percaya kau memahami keinginan ku saat itu, tapi memang benar bahwa pendidikan adalah yg utama untuk kami. Pendidikan jua lah yg akhirnya membuat ku mampu berdiri beberapa langkah lebih baik dari mu. Dan pada akhirnya mampu mengartikan bahwa pulang ke rumah, adalah sebaik-baiknya pulang.
See you again, Bapak Asmawi bin Achmad Asgari.